Makalah

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM
DI ARAB DAN DI INDONESIA

Disusun oleh:
Nama                           : NPM
Ahmad Riyadin          : 1011050109
Desi Suparyati             : 1011050086
Dwi Maydalena          : 1011050034
Nur Ngafifah              : 1011050049
Mata Kuliah                : Metode Studi Islam
Jurusan/ Smt/Kls         : Matematika/I/B
Dosen                          : Muslim Basyar





FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN INTAN
LAMPUNG
T.A. 2010/2011

KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah berkat rahmat Allah SWT. Makalah tentang “Perkembangan Pemikiran Islam di Dunia” ini dapat hadir di hadapan para pembaca yang budiman. Secara khusus kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberi masukan yang sangat berharga baik dalam tahap rancangan maupun hasilnya nanti.
            Terima kasih yang mendalam juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan yang telah membantu kelompok kami dalam menyelesaikan makalah ini.
            Akhirnya tegur sapa, kritik dan saran tetap penulis harapkan dari semua pihak agar yang slah dapat diperbaiki, yang menyimpang dapat diluruskan dan yang kurang dapat disempurnakan. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bandar Lampung, 20 Oktober 2010

Penulis                                    








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………   ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...   iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang………………………………………………………...   1
1.2  Rumusan Masalah……………………………………………………...  2
1.3  Ruang Lingkup Pembahasan…………………………………………... 2
BAB II            PEMBAHASAN
            2.1 Perkembangan Pemikiran Islam di Arab……………………………………..          3
            2.2 Dampak dari pemikiran dan filsafat Yunani terhadap Islam ………………...       5
            2.3 Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia………………………………...         7
            2.4 Teologi Rasional Muktazilah Ala Harun Nasution…………………………...         8

BAB III  KESIMPULAN………………………………………………………………….           10

DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti. Memang tidak dapat disangkal bahwa pada masa-masa tertentu dalam sejarah islam terdapat masa-masa kemandegan dalam proses tersebut. Tetapi pada saat tersebut selalu muncul tokoh-tokoh muslim pembaru yang tidak betah berada pada kemapanan yang telalu berkepanjangan, dengan upaya-upaya reinterpretasi terhadap ajaran agama dalam rangka menjawab tantangan-tantangan zaman atas dasar pemikiran-pemikirannya, tokoh-tokoh pembaru tersebut telah mempelopori dan membangun gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam.

Di Arab, peradaban Islam yang berkembang di negara ini berdiri di atas tatanan masyarakat kecil yang dibangun berdasarkan ikatan keluarga, keturunan kekerabatan dan ikatan etnis, masyarakat pertanian dan perkotaan, perekonomian pasar, kepercayaan monotheistik dan imperium birokratis. Transformasi sosial dari masyarakat Arab pra islam sampai terbentuknya keunggulan peradaban dan dilanjutkan dengan masa stagnasi terhadap pemikiran secara sistematis dapat klasifikasikan dalam 3 fase. Fase pertama merupakan fase penciptaan komunitas baru yang yang bercorakkan islam di Arab sebagai hasil dari transformasi masayarakat pinggiran dengan sebuah masyarakat kekeraatan. Fase kedua merupakan penaklukan bangsa Arab (komunitas muslim) yang baru terbentuk yang pada akhirnya mendorong terciptanya imperium dan kebudayaan islam. Fase ketiga merupakan fase post-imperium atau periode kesultanan yang mana pola dasar kultural berubah menjadi agama dan basis organisasi komunal dari masyarakat Timur Tengah.

Selanjutnya, Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim, walaupun tidak mempunyai ideologi Islam (bukan negara islam seperti Arab, Pakistan, dan Iran) sebagai asas kehidupan bernegara namun sebagaimana dikatan oleh Amien Rais bahwa Indonesia tak pelak lagi dapat dikatakan sebagai negara islam secara substansial (isi dan bentuk). Di lihat dari potret keberadaan bangsa Indonesia saat ini tidak bisa dipisahkan dari kronologis perjalanan sejarahnya masa lampau. Apalagi sebagaimana diketahui keberhasilan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari kegigihan dan keuletan umat Islam berjihad merebutnya dari tangan penjajah.

1.2  Rumusan Masalah
1.                  Perkembangan pemikiran Islam di Arab.
2.                  Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.

1.3  Ruang Lingkup Pembahasan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, kami membatasi pembahasan pemikiran islam di Indonesia menurut pemikiran Harun Nasution, dan pemikiran islam di Arab yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah.






BAB II
PEMBAHASAN
   Pemikiran Islam adalah pemikiran yang khas, lain daripada yang lain. Ini wajar sebab pemikiran islam berasal dari wahyu atau bersandarkan pada penjelasan wahyu, sedangkan pemikiran yang berkembang di antara manusia baik itu berupa agama-agama non-samawi, ideologipolitik dan ekonomi, maupun teori sosial sekedar muncul dari kejeniusan berfikir manusia yang melahirkannya.
Pemikiran islam mempunyai beberapa ciri khas antara lain: bersifat komprehensif, yakni mengatur semua aspek kehidupan manusia, seperti politik , sosial kemasyarakatan dan sebagainya. Bersifat luas, yakni karena luasnya pemikiran islam memungkinkan para ulama untuk melakukan istinbath (menggali) hukum-hukum syar’I dari nash-nash syariat-syariat tentang perkara baru apapun jenisnya. Bersifat praktis, yakni hadir untuk diterapkan dan dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan. Dan bersifat manusiawi, yakni menyeru kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia, tanpa melihat lagi ras atau warna kulitnya.
2.1     Perkembangan Pemikiran Islam Di Arab
Bani Abbasiyah berkuasa sekitar 500 tahun, tahun 750-1258 M, berkedudukan di Baghdad, Iraq. Masa ini tidak ada lagi ekspansi dan penaklukan wilayah. Sebaliknya,
wilayah luas yang diwarisi bani Abbas dari bani Umayyah justru lepas satu per satu, sehingga muncul tiga kerajaan besar secara bersamaan yaitu Bani Abbas di Baghdad, Bani Fatimiyah di Mesir, dan kerajaan Islam di Spanyol. Ketiga kerajaan ini berbeda secara theologis dan politik. Bani Abbas berpaham Sunni sedang bani Fatimiyah yang mewariskan Al-Azhar berpaham Syiah. Sementara itu, Islam di Spanyol meski sama-sama Sunni tetapi keduanya berbeda bahkan merupakan lawan politik. Karena itu ketiganya bersaing ketat dalam semua hal, militer, kebudayaan dan peradaban, bahkan tidak jarang saling serang dengan menggunakan doktrin teologis keagamaan.
Sumbangan utama bani Abbas bagi peradaban Islam adalah dukungannya yang besar terhadap perkembangan keilmuan, filsafat dan sains. Secara umum kebanyakan khalifah bani Abbas adalah orang yang gandrung ilmu dan hikmah, dan memberi dukungan besar pada bidang ini. Al-Makmun (811-833 M) adalah khalifah yang mempelopori proses penterjemahan filsafat Yunani ke dalam Islam, yang kemudian didukung oleh penggatinya, Harun Al-Rasyid, dengan didirikannya Baitul Hikmah, perpustakaan besar dan pusat penelitian.
Hal itu bukan berarti pemikiran dan filsafat Islam berasal dari Yunani, atau bahwa Islam tidak mempunyai pemikiran filosofis dan rasional sendiri yang orisinal seperti dituduhkkan Renan dan Duhem. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru semata. Suatu ide dapat dibahas oeh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena.
Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Tercatat dalam sejarah, terjemahan filsafat-filsafat Yunani memberi kontribusikan besar bagi perkembangan pemikiran dan filsafat Islam baru dimulai pada masa Al-makmun oleh orang-orang seperti Yahya Al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana Ibn Musyawaih dan Hunai Ibn Ishaq. Pada masa ini sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalm fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun oleh Wasil ibn Atha’ telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang. Begitu pula di bidang fiqh, penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbath) dengan istilah-istilah seperti istihsan, istishlah, qiyas dan lainnya yang telah lazim digunakan. Di sini muncullah tokoh-tokoh mazhab fiqh yang memunculkan metode istinbath dengan menggunakan rasio seperti Au Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ibn Hanbal, mereka hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal teologis dan kajian hukum. Bahkan pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam.
Pemikiran rasional dan filosofis dalm Islam tersebut telah berkembang jauh sebelum datangnya Yunani sebagai akibat adanya tuntutan untuk menyesuaikan antara ajaran Al-Qur’an dengan realitas sehari-hari. Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya bagaimana menyelaraskan antara siafat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai dengan perbuatannya. Bagaimana meafsirkannya secara tepat bahasa antropomorfis Al-Qur’an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dalam hal itu antara metode-metode pemecahan yang yang diberikan atas masalah teologi tidak berbeda dengan filsafat Yunani, perbedaan antara keduanya adalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni bahwa pemikiran teologi didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku.
2.2 Dampak dari pemikiran dan filsafat Yunani terhadap Islam
Masuknya pemikiran dan filsafat Yunani, berdampak posotif bagi Islam yakni memberikan support besar bagi perkembangan filsafat dan sains Islam. Yang dapat kita lihat dalam sejarah bahwa peradaban islam  di bidang sains pada masa itu mengalami kemajuan. Dalam bidang filsafat, para filosof muslim mendapat referensi untuk mendiskusikan hubungan antara Tuhan yang Esa dengan realitas empiris yang beragam, pemahaman keagamaan yang bersumber pada wahyu dan renungan filosofis yang berasal dari rasio dan seterusnya. Sedangkan dampak negatifnya adalah timbul permasalahan baru, beberapa tokoh Islam yang belajar filsafat sampai berani mempersoalkan kenabian karena terlalu mengandalkan kekuatan rasio. Ar-Razi contohnya, Ia menolak kenabian dengan tiga alasan:
1.      Bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah ampu mengenal tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.
2.      Tidak ada pembenaran bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkatan kecerdasan yang sama hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka.
3.      Ajaran nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama tuhan yang sama, mestinya tidak ada  perbedaan.
Karena itu, salah satu tokoh salaf yakni Ahmad Ibn Hanbal (780-855 M) menunjukkan sikap tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu filsafat. Menurut George N. Atiyeh, penentangan itu disebabkan, pertama, adanya kekhawatiran bahwa ilmu filsafat akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat ternyata bukan orang islam. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat islam dari pengaruh machianisme Persia.
Ketegangan dan penentangan tersebut dimulai pada masa Al-makmun dan berlanjut pada beberapa khalifah penggantinya yang mendukung muktazilah dan filsafat. Perubahan drastis terjadi setelah masa Al-Mutawakil. Ia berbalik mendukung salaf yang semakin kuat untuk mengamankan kekuasaanya. Perubahan politik in juga berdampak pada perubahan sikap dan paham teologi.
Pemikiran filsafat dan nalar rasional yang merupakan jantung keilmuan dan sains semakin tersingkir dari masyarakat islam sunni dan pusta kekuasaan bani Abbas setelah Al-Ghazali juga menyerang filsafat dan mengunggulkan tasawuf. Ia menyatakan bahwa tiga persoalan filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran islam yaitu ajarannya tentang keqadiman alam, kebangkitan ruhani, dan ketidaktahuan Tuhan akan hal yang partikular. Ibnu Rusyd pada fase-fase berikutnya mencoba membendung serangan al-Ghazali, ia mencoba mengembalikan posisi filsafat. Usahanya gagal, bahkan ia menjadi korban pertentangan antara filsafat dan fiqh yang akhirnya ia diasingkan dan karya-karya filsafatnya dibakar.
2.3 Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia
Pemikiran islam di Indonesia bukanlah barang baru ketika Harun Nasution mengutarakan berbagai gagasan pemikirannya. Bangsa indonesia (sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia) merupakan salah satu gudang pemikiran islam. Memang perkembangan pemikiran islam baru dimulai sejak sekitar masa pergerakan nasional. Pemikiran pada masa itu juga tidak lepas dari gerakan pembaruan islam yang ada di Timur Tengah (terutama Mesir).
Pemikiran islam di Indonesia berkembang cukup pesat di awal abad ke-20. Hal itu ditandai dengan lahirnya gerakan modernisme. Gerakan modernisme yang bertumpu pada Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat islam pada sumber ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman sehingga tidak perlu diperbaharui. Namun, hal ini perlu diangkat lagi ke permukaan masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi dan adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran pokok tersebut. Pengusung gerakan Modernisme pada saat itu adalah H.O.S. Tcokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad  Natsir. Perubahan dari taqlid kepada ijtihad merupakan akar pemikiran islam tersebut. Akar pemikiran itu kemudian menjalar kepada pemikiran aplikatif dan kehidupan modern.
Ketika Agus Salim dan Tjokroaminoto berhadapan dengan komunis dan nasionali, mereka mengusung pembicaraan tentang sistem ekonomi yang direlevansikan dengan pembinaan masyarakat menurut Islam. Pada umumnya sampai masa konstituante tahun 1956-1959, pamikiran islam di Indonesia berkisar pada soal-soal ibadah dan muamalah.
Dalam pemikiran Harun kita akan lihat warna berbeda yang bisa dilihat dari beberapa perspektif yaitu suasana zaman, afiliasi terhadap ormas/parpol, fokus terhadap bidang akademis. Kembali kepada pembahasan paragraf sebelumnya tentang garis besar pemikiran Islam pada awal abad ke-20 sampai masa konstituante, Deliar Noer menarik beberapa kesimpulan tentang corak gerakan masa itu antara lain bahwa pemikiran kalangan Islam masa itu lebih merupakan reaksi atau respon terhadap tantangan yang ada. Ia merupakan reaksi terhadap pemikiran Barat. Selain itu permasalahan yang dihadapi tidak diimbangi dengan tersedianya orang-orang ynag ahli dan mempunyai waktu luang sehingga bahasan dan kajianyang dilakukan terhadap salah satu kurang mendalam dan kurang mengena. Warna berbeda lainnya yaitu afiliasi tehadap ormas/parpol. Kenyataan memperlihatkan bahwa para tokoh sebelumnya adalah bagian dari ormas atau parpol. Hal itu secara tidak langsung menjadi salah satu pertimbangan apakah pemikiran yang dikeluarkan tokoh itu adlah murni pemikirannya. Perspektif lainnya adalah fokus yang digeluti oleh Harun Nasution pada bidang akademis. Artinya bahwa pemikirannya adalah suatu kajian yang bisa disampaikan bahkan dipakai sebagai kurikulum.
2.4 Teologi Rasional Muktazilah ala Harun Nasution
Setiap tokoh memiliki cirikhas pemikiran dan latar belakang pemikirannya masing-masing. Bila tidak berlebihan dapat dikatakan titik tolak pemikiran Harun Nasution adalah pemikiran Muktazilah yang sudah diupamnya. Fauzan shaleh mengatakan bahwa  pemikiran muktazilah tersebut diperkenalkan oleh Harun Nasution secara lebih komprehensif. Inti pembaharuan pemikiran Harun Nasution sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya yaitu menekankan tentang Ijtihadakan tetapi Harun sudah memasuki tataran pembahasan yang sudah lebih mendalam tentang teologi. Masalah kalam ini jarang sekali diperbincangkan oleh para pemikir Islam sebelumnya. Seperti pada paparan diatas, sebagian besar pemikirannya dititikberatkan pada kajian muamalah.
Hal itu terjadi karena suasana zaman yang maenarik para pemikir islam tersebut untuk merespon masalah yang ada. Sedangkan Haruh Nasution adalah orang yang lepas dari berbagai kemelut masalah yang ad, walaupun pada masanya bukan berarti tidak ada masalah.
Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam islam teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum pemikiran Harun Nasution tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena manurutnya di dalam Al-Qur’an memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al dalalah. Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan suatu interpretasi. Zhanniy al dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan pemikiran-pemikiran yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.















BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka penulis dapat simpulkan bahwa:
Pemikiran yang sangat berpengaruh di Arab pada awalnya sangat dipengaruhi oleh masuknya pengaruh filsafat Yunani, yang memiliki dampak positif dan negatif terhadap pemikiran yang ada di kalangan umat Islam. Hingga muncul berbagai permasalahan yang akhirnya banyak menuai perdebatan di kalangan intelektual yaitu melalui pemikiran-pemikiran mereka. Mereka lebih menitikberatkan pada bidang filsafat keagamaan.
Di Indonesia gerakan modernisme lahir pada saat pemikiran Indonesia sedang berkembang cukup pesat. Tokoh-tokoh yang mengusungnya adalah H.O.S. tjokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad Natsir. Disini Harun Nasution memaparkan pemikiran-pemikirannya dengan sudut pandang berbeda dari para pengusung gerakan modernisme dan Ia juga memaparkan pemikiran tentang toelogi rasionalnya. Para pamikir di Indonesia menitik beratkan pemikirannya pada ijtihad, muamalah dan lain sebagainya.








DAFTAR PUSTAKA
Sani, Abdul. 1996. Perkembangan Modern Dalam Islam.Jakarta: Rajawali Pers.
Hidayat, Komaruddin. 2002. Pranata Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Rais, Amien. 1989. Islam dan Pembaruan. Jakarta: CV. Rajawali.
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta. LP3ES.
Yatim, Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Azra, Azyumardi. 1985. Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Semoga bermanfaat ;)




FITRAH MANUSIA DAN KONSEP
PENGEMBANGANNYA
(Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam)

Disusun Oleh :
Nama  (NPM)
Ica Meirisa Dhinari   (1011050147)
Nur Ngafifah  (1011050049)
Sudriyah (1011050090)
Syafaati Laili Mustofiyah (1011050000)
Jurusan/Semester                  :  Tadris Matematika/ IV
Mata Kuliah                           :  Ilmu Pendidikan Islam
Dosen                                     :  Agus Faisal Asha, M.Pd.I


               

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
2012

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT., karena atas limpahan  rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami tentang ”Fitrah Manusia dan Konsep-Konsep Pengembangannya” sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam.

Kami ucapkan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam yang telah membimbing dan memberikan masukan yang sangat bermanfaat dalam proses pembuatan makalah ini.

Tiada gading yang tak retak, kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Dan kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca demi sempurnanya makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Wassalamualaikum wr.wb

 

Bandar Lampung,    April 2012



                                                                        Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk yang istimewa. Hal ini dikarenakan manusia dikaruniai akal sebagai keistimewaan dibandingkan makhluk lainnya. Manusia merupakan makhluk mulia dari segenap makhluk yang ada di alam raya ini. Allah  telah membekali manusia dengan berbagai keutamaan sebagai ciri khas yang membedakan dengan makhluk yang lain. Untuk mengetahui komponen yang ada dalam manusia, hal ini bisa dilihat dari pengertian manusia menurut tinjauan Al-Qur’an.
Keistimewaan manusia juga dikarenakan manusia memiliki potensi yang dikenal dengan istilah fitrah. Banyak persepsi mengenai makna fitrah. Sehingga kadang melenceng dari konsep fitrah  yang sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selain itu bagaimana fitrah manusia dikaitkan  dengan konsep Pendidkan Islam.










BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Fitrah Manusia
Dalam pandangan Islam kemampuan dasar dan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya atau pembawaan disebut dengan fitrah. Secara etimologi fitrah berasal dari kata fathara yang artinya ‘menjadikan’, namun secara terminologi fitrah adalah mencipta atau menjadikan sesuatu yang sebelumnya belum ada dan merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan. Secara umum pemaknaan fitrah dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan setidaknya dalam empat makna:
  1. Proses penciptaan langit dan bumi
  2. Proses penciptaan manusia
  3. Pengaturan alam semesta dan isinya secara serasi dan seimbang
  4. Pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasa dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.[1]
Apabila makna fitrah dirujuk pada manusia maka makna fitrah memiliki berbagai pengertian. Seperti dalam surat Ar-Rum ayat 30, yang bermakna bahwa fitrah manusia yaitu potensi manusia untuk beragama atau bertauhid kepada Allah. Bahkan iman bawaan telah diberikan kepada manusia semenjak lahir. Selain itu juga terdapat dalam sabda nabi saw, yaitu:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ
Artinya:
Tidak ada anak yang dilahirkan (oleh orangtuanya) kecuali (dilahirkan) dalam keadaan suci (fithrah), hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Bukhari).
Makna fitrah harus mencakup tentang manusia yang membutuhkan interaksi terhadap lingkungannya. Hal ini dikarenakan tugas pokok manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Dalam pelaksanaan kekhalifahannya, manusia senantiasa memerlukan interaksi dengan orang lain atau makhluk lainnya. Untuk itu, menurut Hasan Langgulung fitrah berarti, potensi-potensi yang dimiliki manusia. Potensi-potensi tersebut meruakan keterpaduan yang tersimpul dalam al asma’ul al-husnah (sifat-sifat Allah).
Tentu saja potensi manusia yang tersimpan dalam sifat Allah tidak sempurna. Tetapi memiliki keterbatasan yang dimilikinya. Sehingga manusia selalu membutuhkan bantuan dan pertolongan dari Tuhannya dalam upaya pemenuhan semua kebutuhannya. Keadaan ini menyadarkan manusia akan keterbatasannya dan ke-Mahakuasa-an Allah. Potensi yang telah diberikan Allah kepada manusia menjadikan manusia berfikir dan mampu mengemban amanat yang dibebankan oleh Allah kepadanya.
Dari kedua dalil diatas yang memuat kata fitrah, maka fitrah dapat diambil pengertian sebagai berikut.
  1. Fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
  2. Fitrah yang berarti potensi. Potensi, mengacu kepada dua hal, yang baik dan buruk. Sehingga perlu dikembangkan, diarahkan, dan dididik. Disinilah fungsi pendidikan yaitu agar potensi manusia bisa terahkan dan berkembang dengan baik.
  3. Fitrah yang mengandung kecenderungan yang netral[2]. Dengan demikian, manusia harus melakukan usaha pendidikan aspek eksternal.
B.     IMPLIKASI FITRAH MANUSIA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Ketika manusia itu diciptakan, manusia sudah memiliki kemampuan potensi dasar pada dirinya, namun potensi yang ada itu bukan merupakan suatu hal yang konkrit dapat langsung terlihat, tetapi masih merupakan hal yang tersembunyi pada mulanya. Potensi atau kemampuan tersebut dalam Islam disebut  sebagai "Fitrah". Fitrah ini merupakan potensi dasar manusia yang dibawanya sejak lahir sebagai kemampuan dasar dan kecenderungan yang murni bagi setiap individu manusia. Setiap manusia yang lahir mempunyai kemampuan untuk dapat menumbuhkembangkan potensi yang ada pada dirinya, fitrah yang ada itu akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengaruh lingkungan di sekitarnya.0.000000 0.000000
Potensi dasar yakni potensi yang ada dalam jasmani dan rohani. Bekal yang dimiliki manusia pun tidak hanya berupa asupan positif saja, karena dalarn diri manusia tercipta satu potensi yang diberi nama nafsu. Dan nafsu ini yang sering membawa manusia lupa dan ingkar dengan fitrahnya sebagai hamba dan khalifah Allah dimuka bumi. Untuk itu manusia perlu mengembangkan potensi positif yang ada dalam dirinya untuk rnencapai fitrah tersebut.
Dan sebagai pendidik pertama di bumi, orang tua adalah yang berkewajiban memberikan pengetahuan pertama kepada anak-anaknya. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah bagaimana Implikasi antara Fitrah Manusia dalam Pendidikan Islam, yakni dilihat menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan tentang Implikasi Fitrah Manusia terhadap Pendidikan Islam. Setelah dilakukan analisa dan kajian terhadap implikasi fitrah manusia terhadap pendidikan, maka penulis mengemukakan beberapa kesimpulan bahwa Pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia berdasarkan hukum-hukum. Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifäh Allah dan Abdullah (Abdi Allah).
Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafsu, akal, qalb, dan fitrah. Sejalan dengan itu, Zakiyah Darajat mengatakan, bahwa potensi dasar tersebut berupa jasmani, rohani, dan fitrah namun ada juga yang menyebutnya dengan jismiah, nafsiah dan ruhaniah. Potensi yang ada pada manusia adalah untuk dikembangkan dan masing-masing pribadi manusia sebagai karunia Tuhan.
Potensi ini merupakan potensi mental-spiritual dan fisik yang diciptakan Tuhan sebagai fitrah yang tidak bisa diubah atau dihapuskan oleh siapapun, akan tetapi dapat diarahkan perkembangannya dalam proses pendidikan sampai titik optimal yang berakhir pada takdir Tuhan. Disaat mereka mengalami ketidakberdayaan ketika musibah menghampirinya, secara naluriah, mereka akan meminta pertolongan dan segalanya kepada Allah, yang bisa mernbebaskan mereka dan ketidakberdayaan itu. Manusia secara insting akan berbuat semacam itu sebagai ungkapan jiwanya yang pada fitrahnya adalah suci, bertuhan, dan mengakui kebenaran. Proses pendidikan manusia dan waktu ke waktu akan mengembangkan fitrah manusia itu sendini. Oleh karena itu mengapa pendidikan sangat diperlukan bagi manusia.

C.     KOMPONEN PSIKOLOGI DALAM FITRAH

Fitrah merupakan kondisi jiwa yang suci, bersih yang reseptif terbuka kepada pengaruh eksternal termasuk pendidikan. Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau response terhadap pengaruh dari luar tidak terdapat di dalam fitrah, yang kemukakan oleh ahli sunnah wal jamaah.
Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang dibawa sejak lahir dan berpusat pada potensi dasar untuk berkembang. Potensi dasar tersebut sacara menyeluruh (integral) yang menggerakkan seluruh aspek-aspeknya secara mekanis yang mana satu sama lain saling mempengaruhi menuju kearah tujuan tertentu.
Aspek-aspek fitrah merupakan komponen dasar bersifat dinamis, responsive terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan.
Komponen- komponen dasar tersebut meliputi :
  1. Bakat, merupakan suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (profesional) dalam berbagai bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal pada kemampuan kognisi (daya cipta), konasi (kehendak), dan emosi (rasa) yang disebut dengan tri kotomi (tiga kekuatan kemampuan rohani manusia).
  2. Insting (ghorizah), adalah kemampuan berbuat atau bertingkah tanpa melalui proses belajar. Kemampuan insting tersebut merupakan pembawaan sejak lahir juga. Dalam psikologi pendidikan kemampuan ini termasuk kapabilitas yaitu kemampuan berbuat sesuatu dengan tanpa proses belajar.
3.      Nafsu dan dorongan-dorongan. Dalam tasawuf dikenal nafsu-nafsu lawwamah yang mendorong kearah perbuatan mencela dan merendahkan orang lain. Nafsu ammarah yang mendorong kea rah perbuatan merusak, membunuh atau memusuhi orang lain. Nafsu birahi yang mendorong ke arah perbuatan seksual. Nafsu mutmainnah yang mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut al-Ghazali, nafsu manusia terdiri dari nafsu malakiah yang cenderung ke arah perbuatan mulia sebagai halnya para malaikat, dan nafsu bahimiah yang mendorong ke arah perbuatan rendah sebagaimana binatang.
4.      Karakter adalah merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak lahir. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter terbentuk oleh kekuatan dari dalam diri manusia, bukan terbentuk dari pengaruh luar.
5.      Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan oleh orang tua baik dalam garis yang terdekat maupun yang telah jauh.
6.      Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi menggerakkan hati nurani manusia yang membimbingnya ke arah perbuatan dalam situasi khusus diluar kesadaran akal pikiran, namun mengandung makna yang bersifat konstruktif bagi kehidupannya. Intuisi biasanya diberikan Tuhan kepada orang yang bersih jiwanya[3].
7.      Implikasi Fitrah Manusia Terhadap Pendidikan

D.    Macam–Macam Potensi Manusia

Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa fitrah mengacu kepada potensi yang dimiliki manusia. Potensi itu diantaranya yaitu,
1.      Potensi beragama
Perasaan keagamaan adalah naluri yang dibawa sejak lahir bersama ketika manusia dilahirkan. Manusia memerlukan keimanan kepada zat  tertinggi yang Maha Esa diluar dirinya dan dan diluar dari alam benda yang dihayati olehnya. Naluri beragama mulai tumbuh apabila manusia dihadapkan pada persoalan persoalan yang melingkupinya.
Akal akan menyadari kekerdilannya dan mengakui akan kudratnya yang terbatas.[4] Akal akan menyadari bahwa kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam jagat raya ini, yaitu Allah.
2.      Kecenderungan moral
Kecenderungan moral sangat erat kaitannya dengan potensi beragama. Sehingga ia mampu untuk membedakan yang baik dan buruk. Atau memiliki hati yang dapat mengarahkan kehendak dan akal. Apabila dipandang dari pengertian fitrah seperti di atas, maka kecenderungan moral itu bisa mengarah kepada dua hal sebagaimana terdapat dalam surat Asy-Syam ayat 7 yang Artinya:
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)  dan ketakwaannya.
3.      Manusia bersifat fleksibel.
Manusia mampu dibentuk dan diubah[5]. Ia mampu menguasai ilmu pengetahuan, menghayati adat-istiadat, nilai, atau aliran baru. Atau meninggalkan adat, nilai dan aliran lama, dengan cara interaksi sosial baik dengan lingkungan yang bersifat alam atau kebudayaan. Allah berfirman tentang bagaimana sifat manusia yang mudah lentur, terdapat dalam surat Al Insan ayat 3, artinya:
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
4.      Kecenderungan bermasyarakat
Manusia juga memiliki kecendrungan bersosial dan bermasyarakat.
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi.
a)      Daya Intelektual (Quwwat Al-‘Aql), yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
b)      Daya Ofensif (Quwwat Al-Syahwat), yaitu potensi dasar yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
c)      Daya Defensif (Quwwat Al-Ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Namun demikian, diantara ketiga potensi tersebut, di samping agama – potensi akal merupakan sebagai alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya.
Menurut Ibnu Taimiyah membagi fitrah manusia kepada dua bentuk, yaitu:
1.      Fitrah Al-Gharizat
Merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir. Bentuk fitrah ini berupa nafsu, akal, dan hati nurani. Fitrah (potensi) ini dapat dikembangkan melalui jalan pendidikan.
2.      Fitrah Al-Munazalat
Merupakan potensi luar manusia. Adapun fitrah ini adalah wahu ilahi yang diturunkan Allah untuk membimbing dan mengarahkan fitrah al gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif. Semakin tinggi interaksi antara kedua fitrah tersebut, maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia.
Berdasarkan penjelasan mengenai potensi manusia, tampak jelas bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal. Lingkungan ikut mempengaruhi dinamika dan arah pertumbuhan fitrah manusia. Semakin baik penempaan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, penempaan dan pembinaan fitrah yang dimiliki tidak pada fitrahnya maka manusia akan tergelincir dari tujuan hidupnya. Untuk itu salah satu pembinaan fitrah dengan pendidikan.
E.     Hubungan Fitrah Manusia dan Kependidikan
Fitrah yang mengandung implikasi pendidikan mengandung paham nativisme. Maksudnya bahwa manusia mempunyai potensi dasar beragama yang tidak dapat dirubah. Fitrah yang bercorak nativisme[6] ini berkaitan juga dengan faktor hereditas (keturunan) yang bersumber dari orang tua, termasuk juga keturunan beragama. Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Nuh ayat 26-27.
Menurut Ali Firi dalam buku M. Arifin, salah seorang ahli pendidikan Mesir  menyatakan bahwa kecenderunga nafsu berpindah dari orang tua secara turun temurun.
Namun demikian fitrah itu tetap harus dipelihara dan dijaga. Sehingga peran lingkungan sangat penting dalam mengembangkan potensi seorang manusia. Potensi anak akan dikembangkan melalui proses pendidikan sehingga dalam proses pendidikan menjelaskan bahwa fitrah yang telah dibawa sejak lahir bagi anak akan memiliki pengaruh yang cukup besar dipengaruhi dengan lingkungan.
Lingkungan merupakan faktor yang mepengaruhi manusia, meskipun demikian bukanlah menjadi faktor utama. Hal ini dikarena masih adanya faktor lain yang bisa mempengaruhi tingkah laku manusia. Melalui proses belajar, manusia bisa menjadi orang-orang yang bermanfaat. Fitrah tersebut harus diarahkan kearah yang positif agar tidak menimbulkan suatu persepsi yang negative.
Konsep fitrah juga menuntut agar pendidikan islam harus bertujuan mengarahkan pendidikan demi terjalinnya ikatan kuat seorang manusia dengan Allah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa fitrah manusia dekat dengan tauhid. Tauhid telah menjadi essensi dari semua bentuk agam-agama.  Konsep tauhid inilah yang memberikan tekanan kekuasaan Allah yang mesti dipatuhi dalam kurikulum pendidikan islam. Sebagaimana dalam firman Allah QS. Al A’raf: 172, Arinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,
Fitrah juga dapat diartikan sebagai kecenderungan-kecenderungan, seperti makan, minum, kebutuhan sex dan lainnya. Kecenderunga ini berperan bagi jasmani manusia yang tercipta dari tanah, sebagimana terdapat dalam surat As- Sajadah ayat 7, Artinya:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Apabila ditelaah, kebutuhan manusia hampir sama dengan kebutuhan makhluk lainnya, seperti binatang dan tumbuhan. Sehingga manusia selalu ingin dan mengikuti rasa nyaman dan tidak ingin tunduk pada kesopanan.  Apabila manusia bertingkah laku seperti itu, maka mirip dengan tingkah laku binatang. Untuk membedakan manusia dengan penciptaan Allah yang lain, maka manusia harus dididik. Kecenderungan tesebut tetap harus dipenuhi seperti makan dan minum, dan lainnya. Tetapi kecenderungan tersebut harus tetap dikontrol sehingga bisa terealisasikan dengan baik.
















BAB III
KESIMPULAN

Dalam rangka mengembangkan fitrah (potensi) manusia, baik potensi jasmani maupun rohani, secara efektif dapat dilakukan melalui pendidikan karena fitrah manusia tidak bisa dibiarkan berkembang bebas. Fitrah tersebut harus dididik dan diarahkan. Sedangkan tujuan pengembangan fitrah manusia itu secara optimal adalah agar kita sebagai manusia mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah SWT. dan khalifah di muka bumi. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa fitrah mempunyai dua kecenderungan yang berlawanan, yaitu kearah kebaikan dan keburukan. Untuk itu, proses pendidikan harus dilakukan, agar manusia tetap berada dalam lingkup kebaikan.











DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nata, Abuddin. Filsafat pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta pusat: Kalam Mulia. 2010.




Terima Kasih
 


















[1] Samsul Nizar, Op Cit., h. 73
[2] Ibid. hal. 44

[3] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hal. 103
[4] Omar M. Al Toumy al Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Terjemahan), Jakarta: Bulan Bintang,1979. hal. 122
[5] Ibid., hal. 156
[6] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakrya, 2002) hal. 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kategori

Arsip Saya

Populer

Statistik Saya