PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM
DI ARAB DAN DI INDONESIA
Disusun oleh:
Nama :
NPM
Ahmad
Riyadin : 1011050109
Desi
Suparyati : 1011050086
Dwi
Maydalena : 1011050034
Nur
Ngafifah : 1011050049
Mata
Kuliah : Metode Studi Islam
Jurusan/
Smt/Kls : Matematika/I/B
Dosen : Muslim Basyar
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN INTAN
LAMPUNG
T.A.
2010/2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah berkat rahmat Allah
SWT. Makalah tentang “Perkembangan Pemikiran Islam di Dunia” ini dapat hadir di
hadapan para pembaca yang budiman. Secara khusus kami ucapkan terima kasih
kepada dosen pembimbing yang telah memberi masukan yang sangat berharga baik
dalam tahap rancangan maupun hasilnya nanti.
Terima kasih yang mendalam juga
penulis ucapkan kepada rekan-rekan yang telah membantu kelompok kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya tegur sapa, kritik dan
saran tetap penulis harapkan dari semua pihak agar yang slah dapat diperbaiki,
yang menyimpang dapat diluruskan dan yang kurang dapat disempurnakan. Semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bandar
Lampung, 20 Oktober 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… ii
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang………………………………………………………... 1
1.2 Rumusan
Masalah……………………………………………………... 2
1.3 Ruang
Lingkup Pembahasan…………………………………………... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Pemikiran Islam di
Arab…………………………………….. 3
2.2 Dampak dari pemikiran dan
filsafat Yunani terhadap Islam ………………... 5
2.3 Perkembangan Pemikiran Islam di
Indonesia………………………………... 7
2.4 Teologi Rasional Muktazilah Ala
Harun Nasution…………………………... 8
BAB III KESIMPULAN…………………………………………………………………. 10
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemikiran dan gerakan pembaruan dalam
Islam merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti. Memang tidak dapat
disangkal bahwa pada masa-masa tertentu dalam sejarah islam terdapat masa-masa
kemandegan dalam proses tersebut. Tetapi pada saat tersebut selalu muncul
tokoh-tokoh muslim pembaru yang tidak betah berada pada kemapanan yang telalu
berkepanjangan, dengan upaya-upaya reinterpretasi terhadap ajaran agama dalam
rangka menjawab tantangan-tantangan zaman atas dasar pemikiran-pemikirannya,
tokoh-tokoh pembaru tersebut telah mempelopori dan membangun gerakan-gerakan
pembaruan di dunia Islam.
Di Arab, peradaban Islam yang berkembang
di negara ini berdiri di atas tatanan masyarakat kecil yang dibangun
berdasarkan ikatan keluarga, keturunan kekerabatan dan ikatan etnis, masyarakat
pertanian dan perkotaan, perekonomian pasar, kepercayaan monotheistik dan
imperium birokratis. Transformasi sosial dari masyarakat Arab pra islam sampai
terbentuknya keunggulan peradaban dan dilanjutkan dengan masa stagnasi terhadap
pemikiran secara sistematis dapat klasifikasikan dalam 3 fase. Fase pertama
merupakan fase penciptaan komunitas baru yang yang bercorakkan islam di Arab sebagai
hasil dari transformasi masayarakat pinggiran dengan sebuah masyarakat
kekeraatan. Fase kedua merupakan penaklukan bangsa Arab (komunitas muslim) yang
baru terbentuk yang pada akhirnya mendorong terciptanya imperium dan kebudayaan
islam. Fase ketiga merupakan fase post-imperium atau periode kesultanan yang
mana pola dasar kultural berubah menjadi agama dan basis organisasi komunal
dari masyarakat Timur Tengah.
Selanjutnya, Indonesia adalah negara
yang berpenduduk mayoritas muslim, walaupun tidak mempunyai ideologi Islam
(bukan negara islam seperti Arab, Pakistan, dan Iran) sebagai asas kehidupan
bernegara namun sebagaimana dikatan oleh Amien Rais bahwa Indonesia tak pelak
lagi dapat dikatakan sebagai negara islam secara substansial (isi dan bentuk). Di
lihat dari potret keberadaan bangsa Indonesia saat ini tidak bisa dipisahkan
dari kronologis perjalanan sejarahnya masa lampau. Apalagi sebagaimana
diketahui keberhasilan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa lepas
dari kegigihan dan keuletan umat Islam berjihad merebutnya dari tangan
penjajah.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Perkembangan
pemikiran Islam di Arab.
2.
Perkembangan
pemikiran Islam di Indonesia.
1.3 Ruang
Lingkup Pembahasan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan
masalah, kami membatasi pembahasan pemikiran islam di Indonesia menurut
pemikiran Harun Nasution, dan pemikiran islam di Arab yang berkembang pada masa
Dinasti Abbasiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemikiran Islam adalah pemikiran yang khas,
lain daripada yang lain. Ini wajar sebab pemikiran islam berasal dari wahyu
atau bersandarkan pada penjelasan wahyu, sedangkan pemikiran yang berkembang di
antara manusia baik itu berupa agama-agama non-samawi, ideologipolitik dan
ekonomi, maupun teori sosial sekedar muncul dari kejeniusan berfikir manusia
yang melahirkannya.
Pemikiran
islam mempunyai beberapa ciri khas antara lain: bersifat komprehensif,
yakni mengatur semua aspek kehidupan manusia, seperti politik , sosial
kemasyarakatan dan sebagainya. Bersifat luas, yakni karena luasnya
pemikiran islam memungkinkan para ulama untuk melakukan istinbath (menggali)
hukum-hukum syar’I dari nash-nash syariat-syariat tentang perkara baru apapun
jenisnya. Bersifat praktis, yakni hadir untuk diterapkan dan
dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan. Dan bersifat manusiawi, yakni
menyeru kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia, tanpa melihat lagi
ras atau warna kulitnya.
2.1 Perkembangan Pemikiran Islam Di Arab
Bani
Abbasiyah berkuasa sekitar 500 tahun, tahun 750-1258 M, berkedudukan di
Baghdad, Iraq. Masa ini tidak ada lagi ekspansi dan penaklukan wilayah.
Sebaliknya,
wilayah luas yang diwarisi bani Abbas dari bani Umayyah justru
lepas satu per satu, sehingga muncul tiga kerajaan besar secara bersamaan yaitu
Bani Abbas di Baghdad, Bani Fatimiyah di Mesir, dan kerajaan Islam di Spanyol.
Ketiga kerajaan ini berbeda secara theologis dan politik. Bani Abbas berpaham
Sunni sedang bani Fatimiyah yang mewariskan Al-Azhar berpaham Syiah. Sementara
itu, Islam di Spanyol meski sama-sama Sunni tetapi keduanya berbeda bahkan
merupakan lawan politik. Karena itu ketiganya bersaing ketat dalam semua hal,
militer, kebudayaan dan peradaban, bahkan tidak jarang saling serang dengan
menggunakan doktrin teologis keagamaan.
Sumbangan
utama bani Abbas bagi peradaban Islam adalah dukungannya yang besar terhadap
perkembangan keilmuan, filsafat dan sains. Secara umum kebanyakan khalifah bani
Abbas adalah orang yang gandrung ilmu dan hikmah, dan memberi dukungan besar
pada bidang ini. Al-Makmun (811-833 M) adalah khalifah yang mempelopori proses
penterjemahan filsafat Yunani ke dalam Islam, yang kemudian didukung oleh
penggatinya, Harun Al-Rasyid, dengan didirikannya Baitul Hikmah, perpustakaan
besar dan pusat penelitian.
Hal
itu bukan berarti pemikiran dan filsafat Islam berasal dari Yunani, atau bahwa
Islam tidak mempunyai pemikiran filosofis dan rasional sendiri yang orisinal
seperti dituduhkkan Renan dan Duhem. Pertama, bahwa belajar atau berguru
tidak berarti meniru semata. Suatu ide dapat dibahas oeh banyak orang dan akan
tampil dalam berbagai macam fenomena.
Kedua,
kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan
dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Tercatat dalam
sejarah, terjemahan filsafat-filsafat Yunani memberi kontribusikan besar bagi
perkembangan pemikiran dan filsafat Islam baru dimulai pada masa Al-makmun oleh
orang-orang seperti Yahya Al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana Ibn Musyawaih dan Hunai
Ibn Ishaq. Pada masa ini sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam
masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalm fiqh (yurisprudensi) dan kalam
(teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun oleh
Wasil ibn Atha’ telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin
resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang. Begitu pula di bidang fiqh,
penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbath) dengan
istilah-istilah seperti istihsan, istishlah, qiyas dan lainnya yang
telah lazim digunakan. Di sini muncullah tokoh-tokoh mazhab fiqh yang
memunculkan metode istinbath dengan menggunakan rasio seperti Au
Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ibn Hanbal, mereka hidup sebelum kedatangan
filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan
filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam
masyarakat Islam, yakni dalam soal teologis dan kajian hukum. Bahkan pemikiran
rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan
bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam.
Pemikiran
rasional dan filosofis dalm Islam tersebut telah berkembang jauh sebelum
datangnya Yunani sebagai akibat adanya tuntutan untuk menyesuaikan antara
ajaran Al-Qur’an dengan realitas sehari-hari. Bersamaan dengan itu, dalam
teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan
yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya
dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya bagaimana menyelaraskan
antara siafat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha
tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian
dibalas sesuai dengan perbuatannya. Bagaimana meafsirkannya secara tepat bahasa
antropomorfis Al-Qur’an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan
manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring
para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berfikir
rasional dan filosofis, dalam hal itu antara metode-metode pemecahan yang yang
diberikan atas masalah teologi tidak berbeda dengan filsafat Yunani, perbedaan
antara keduanya adalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada
valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni bahwa pemikiran teologi
didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis
logis, pasti dan baku.
2.2
Dampak dari pemikiran dan filsafat Yunani terhadap Islam
Masuknya
pemikiran dan filsafat Yunani, berdampak posotif bagi Islam yakni memberikan
support besar bagi perkembangan filsafat dan sains Islam. Yang dapat kita lihat
dalam sejarah bahwa peradaban islam di
bidang sains pada masa itu mengalami kemajuan. Dalam bidang filsafat, para
filosof muslim mendapat referensi untuk mendiskusikan hubungan antara Tuhan
yang Esa dengan realitas empiris yang beragam, pemahaman keagamaan yang
bersumber pada wahyu dan renungan filosofis yang berasal dari rasio dan
seterusnya. Sedangkan dampak negatifnya adalah timbul permasalahan baru,
beberapa tokoh Islam yang belajar filsafat sampai berani mempersoalkan kenabian
karena terlalu mengandalkan kekuatan rasio. Ar-Razi contohnya, Ia menolak
kenabian dengan tiga alasan:
1. Bahwa
akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna.
Dengan rasio manusia telah ampu mengenal tuhan dan mengatur kehidupannya
sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.
2. Tidak
ada pembenaran bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain,
karena semua orang lahir dengan tingkatan kecerdasan yang sama hanya
pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka.
3. Ajaran
nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama tuhan yang
sama, mestinya tidak ada perbedaan.
Karena
itu, salah satu tokoh salaf yakni Ahmad Ibn Hanbal (780-855 M) menunjukkan
sikap tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu filsafat. Menurut George N.
Atiyeh, penentangan itu disebabkan, pertama, adanya kekhawatiran bahwa
ilmu filsafat akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat islam terhadap
Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang
mempelajari filsafat ternyata bukan orang islam. Ketiga, adanya usaha
untuk melindungi umat islam dari pengaruh machianisme Persia.
Ketegangan
dan penentangan tersebut dimulai pada masa Al-makmun dan berlanjut pada
beberapa khalifah penggantinya yang mendukung muktazilah dan filsafat.
Perubahan drastis terjadi setelah masa Al-Mutawakil. Ia berbalik mendukung
salaf yang semakin kuat untuk mengamankan kekuasaanya. Perubahan politik in
juga berdampak pada perubahan sikap dan paham teologi.
Pemikiran
filsafat dan nalar rasional yang merupakan jantung keilmuan dan sains semakin
tersingkir dari masyarakat islam sunni dan pusta kekuasaan bani Abbas setelah
Al-Ghazali juga menyerang filsafat dan mengunggulkan tasawuf. Ia menyatakan
bahwa tiga persoalan filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran islam yaitu
ajarannya tentang keqadiman alam, kebangkitan ruhani, dan ketidaktahuan Tuhan
akan hal yang partikular. Ibnu Rusyd pada fase-fase berikutnya mencoba
membendung serangan al-Ghazali, ia mencoba mengembalikan posisi filsafat.
Usahanya gagal, bahkan ia menjadi korban pertentangan antara filsafat dan fiqh
yang akhirnya ia diasingkan dan karya-karya filsafatnya dibakar.
2.3
Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia
Pemikiran
islam di Indonesia bukanlah barang baru ketika Harun Nasution mengutarakan
berbagai gagasan pemikirannya. Bangsa indonesia (sebagai negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia) merupakan salah satu gudang pemikiran islam. Memang
perkembangan pemikiran islam baru dimulai sejak sekitar masa pergerakan
nasional. Pemikiran pada masa itu juga tidak lepas dari gerakan pembaruan islam
yang ada di Timur Tengah (terutama Mesir).
Pemikiran
islam di Indonesia berkembang cukup pesat di awal abad ke-20. Hal itu ditandai
dengan lahirnya gerakan modernisme. Gerakan modernisme yang bertumpu pada
Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat islam pada sumber
ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman sehingga tidak perlu
diperbaharui. Namun, hal ini perlu diangkat lagi ke permukaan masyarakat yang
telah tertutup oleh tradisi dan adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran
pokok tersebut. Pengusung gerakan Modernisme pada saat itu adalah H.O.S.
Tcokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad
Natsir. Perubahan dari taqlid kepada ijtihad merupakan akar pemikiran
islam tersebut. Akar pemikiran itu kemudian menjalar kepada pemikiran aplikatif
dan kehidupan modern.
Ketika
Agus Salim dan Tjokroaminoto berhadapan dengan komunis dan nasionali, mereka
mengusung pembicaraan tentang sistem ekonomi yang direlevansikan dengan
pembinaan masyarakat menurut Islam. Pada umumnya sampai masa konstituante tahun
1956-1959, pamikiran islam di Indonesia berkisar pada soal-soal ibadah dan
muamalah.
Dalam
pemikiran Harun kita akan lihat warna berbeda yang bisa dilihat dari beberapa
perspektif yaitu suasana zaman, afiliasi terhadap ormas/parpol, fokus terhadap
bidang akademis. Kembali kepada pembahasan paragraf sebelumnya tentang garis
besar pemikiran Islam pada awal abad ke-20 sampai masa konstituante, Deliar
Noer menarik beberapa kesimpulan tentang corak gerakan masa itu antara lain
bahwa pemikiran kalangan Islam masa itu lebih merupakan reaksi atau respon
terhadap tantangan yang ada. Ia merupakan reaksi terhadap pemikiran Barat.
Selain itu permasalahan yang dihadapi tidak diimbangi dengan tersedianya
orang-orang ynag ahli dan mempunyai waktu luang sehingga bahasan dan kajianyang
dilakukan terhadap salah satu kurang mendalam dan kurang mengena. Warna berbeda
lainnya yaitu afiliasi tehadap ormas/parpol. Kenyataan memperlihatkan bahwa
para tokoh sebelumnya adalah bagian dari ormas atau parpol. Hal itu secara
tidak langsung menjadi salah satu pertimbangan apakah pemikiran yang
dikeluarkan tokoh itu adlah murni pemikirannya. Perspektif lainnya adalah fokus
yang digeluti oleh Harun Nasution pada bidang akademis. Artinya bahwa
pemikirannya adalah suatu kajian yang bisa disampaikan bahkan dipakai sebagai
kurikulum.
2.4
Teologi Rasional Muktazilah ala Harun Nasution
Setiap
tokoh memiliki cirikhas pemikiran dan latar belakang pemikirannya
masing-masing. Bila tidak berlebihan dapat dikatakan titik tolak pemikiran
Harun Nasution adalah pemikiran Muktazilah yang sudah diupamnya. Fauzan shaleh
mengatakan bahwa pemikiran muktazilah
tersebut diperkenalkan oleh Harun Nasution secara lebih komprehensif. Inti
pembaharuan pemikiran Harun Nasution sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para
pendahulunya yaitu menekankan tentang Ijtihadakan tetapi Harun sudah
memasuki tataran pembahasan yang sudah lebih mendalam tentang teologi. Masalah kalam
ini jarang sekali diperbincangkan oleh para pemikir Islam sebelumnya.
Seperti pada paparan diatas, sebagian besar pemikirannya dititikberatkan pada
kajian muamalah.
Hal
itu terjadi karena suasana zaman yang maenarik para pemikir islam tersebut
untuk merespon masalah yang ada. Sedangkan Haruh Nasution adalah orang yang
lepas dari berbagai kemelut masalah yang ad, walaupun pada masanya bukan
berarti tidak ada masalah.
Teologi
adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam islam
teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum pemikiran Harun Nasution
tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio
kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena
manurutnya di dalam Al-Qur’an memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan
tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu
pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan
yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al dalalah. Qath’iy al dalalah adalah
kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan suatu interpretasi.
Zhanniy al dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas
sehingga menimbulkan pemikiran-pemikiran yang berlainan. Disinilah dibutuhkan
akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutan
wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka penulis dapat simpulkan
bahwa:
Pemikiran
yang sangat berpengaruh di Arab pada awalnya sangat dipengaruhi oleh masuknya
pengaruh filsafat Yunani, yang memiliki dampak positif dan negatif terhadap
pemikiran yang ada di kalangan umat Islam. Hingga muncul berbagai permasalahan
yang akhirnya banyak menuai perdebatan di kalangan intelektual yaitu melalui
pemikiran-pemikiran mereka. Mereka lebih menitikberatkan pada bidang filsafat
keagamaan.
Di
Indonesia gerakan modernisme lahir pada saat pemikiran Indonesia sedang
berkembang cukup pesat. Tokoh-tokoh yang mengusungnya adalah H.O.S.
tjokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad Natsir. Disini Harun Nasution
memaparkan pemikiran-pemikirannya dengan sudut pandang berbeda dari para pengusung
gerakan modernisme dan Ia juga memaparkan pemikiran tentang toelogi
rasionalnya. Para pamikir di Indonesia menitik beratkan pemikirannya pada
ijtihad, muamalah dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Sani,
Abdul. 1996. Perkembangan Modern Dalam Islam.Jakarta: Rajawali Pers.
Hidayat,
Komaruddin. 2002. Pranata Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Rais,
Amien. 1989. Islam dan Pembaruan. Jakarta: CV. Rajawali.
Noer,
Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta.
LP3ES.
Yatim,
Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Azra,
Azyumardi. 1985. Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Semoga bermanfaat ;)
FITRAH MANUSIA DAN
KONSEP
PENGEMBANGANNYA
(Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Pendidikan Islam)
Disusun Oleh :
Nama (NPM)
Ica Meirisa Dhinari (1011050147)
Nur Ngafifah (1011050049)
Sudriyah (1011050090)
Syafaati Laili Mustofiyah (1011050000)
Jurusan/Semester : Tadris Matematika/ IV
Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan
Islam
Dosen : Agus Faisal
Asha, M.Pd.I
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
2012
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb
Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT., karena atas limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami tentang ”Fitrah Manusia dan Konsep-Konsep Pengembangannya” sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam.
Kami ucapkan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam yang telah membimbing dan memberikan masukan yang sangat bermanfaat dalam proses pembuatan makalah ini.
Tiada gading yang tak retak, kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Dan kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca demi sempurnanya makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Wassalamualaikum wr.wb
Bandar Lampung, April 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk yang istimewa. Hal ini dikarenakan
manusia dikaruniai akal sebagai keistimewaan dibandingkan makhluk lainnya.
Manusia merupakan makhluk mulia dari segenap makhluk yang ada di alam raya ini.
Allah telah membekali manusia dengan berbagai keutamaan sebagai ciri khas
yang membedakan dengan makhluk yang lain. Untuk mengetahui komponen yang ada
dalam manusia, hal ini bisa dilihat dari pengertian
manusia menurut
tinjauan Al-Qur’an.
Keistimewaan manusia juga dikarenakan manusia memiliki
potensi yang dikenal dengan istilah fitrah.
Banyak persepsi mengenai makna fitrah. Sehingga kadang melenceng dari konsep
fitrah yang sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selain itu bagaimana fitrah
manusia dikaitkan dengan konsep Pendidkan
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fitrah Manusia
Dalam pandangan
Islam kemampuan dasar dan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk
lainnya atau pembawaan disebut dengan fitrah. Secara etimologi fitrah berasal
dari kata fathara yang artinya ‘menjadikan’, namun secara terminologi fitrah
adalah mencipta atau menjadikan sesuatu yang sebelumnya belum ada dan merupakan
pola dasar yang perlu penyempurnaan. Secara
umum pemaknaan fitrah dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan
setidaknya dalam empat makna:
- Proses penciptaan langit dan bumi
- Proses penciptaan manusia
- Pengaturan alam semesta dan isinya secara serasi dan seimbang
- Pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasa dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.[1]
Apabila makna fitrah
dirujuk pada manusia maka makna fitrah
memiliki berbagai pengertian. Seperti dalam surat Ar-Rum ayat 30, yang bermakna
bahwa fitrah manusia yaitu
potensi manusia untuk beragama atau bertauhid kepada Allah. Bahkan iman bawaan
telah diberikan kepada manusia semenjak lahir. Selain
itu juga terdapat dalam sabda nabi saw, yaitu:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ
Artinya:
“Tidak ada anak yang dilahirkan (oleh orangtuanya) kecuali (dilahirkan) dalam keadaan suci (fithrah), hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Bukhari).
“Tidak ada anak yang dilahirkan (oleh orangtuanya) kecuali (dilahirkan) dalam keadaan suci (fithrah), hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Bukhari).
Makna fitrah
harus mencakup tentang manusia yang membutuhkan interaksi terhadap
lingkungannya. Hal ini dikarenakan tugas pokok manusia sebagai khalifah di muka
bumi ini. Dalam
pelaksanaan kekhalifahannya, manusia senantiasa memerlukan interaksi dengan orang lain atau makhluk lainnya.
Untuk itu, menurut Hasan Langgulung fitrah
berarti, potensi-potensi yang dimiliki manusia. Potensi-potensi tersebut
meruakan keterpaduan yang tersimpul dalam al asma’ul al-husnah (sifat-sifat Allah).
Tentu saja potensi manusia yang tersimpan dalam sifat Allah
tidak sempurna. Tetapi memiliki keterbatasan yang dimilikinya. Sehingga manusia
selalu membutuhkan bantuan dan pertolongan dari Tuhannya dalam upaya pemenuhan
semua kebutuhannya. Keadaan ini menyadarkan manusia akan keterbatasannya dan
ke-Mahakuasa-an Allah. Potensi yang telah diberikan Allah kepada manusia
menjadikan manusia berfikir dan mampu mengemban amanat yang dibebankan oleh
Allah kepadanya.
Dari
kedua dalil diatas yang memuat kata fitrah,
maka fitrah dapat diambil
pengertian sebagai berikut.
- Fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
- Fitrah yang berarti potensi. Potensi, mengacu kepada dua hal, yang baik dan buruk. Sehingga perlu dikembangkan, diarahkan, dan dididik. Disinilah fungsi pendidikan yaitu agar potensi manusia bisa terahkan dan berkembang dengan baik.
- Fitrah yang mengandung kecenderungan yang netral[2]. Dengan demikian, manusia harus melakukan usaha pendidikan aspek eksternal.
B. IMPLIKASI
FITRAH MANUSIA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Ketika manusia
itu diciptakan, manusia
sudah memiliki
kemampuan potensi dasar pada
dirinya, namun potensi yang ada itu bukan merupakan suatu hal yang konkrit
dapat langsung terlihat, tetapi masih merupakan hal yang tersembunyi pada
mulanya. Potensi atau kemampuan tersebut dalam Islam disebut sebagai "Fitrah". Fitrah ini
merupakan potensi dasar manusia yang dibawanya sejak lahir sebagai kemampuan
dasar dan kecenderungan yang murni bagi setiap individu manusia. Setiap manusia yang lahir mempunyai kemampuan untuk
dapat menumbuhkembangkan potensi yang ada pada dirinya, fitrah yang ada itu
akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengaruh lingkungan di sekitarnya.
Potensi dasar yakni potensi yang ada dalam jasmani
dan rohani. Bekal yang dimiliki manusia pun tidak hanya berupa asupan positif
saja, karena dalarn diri manusia tercipta satu potensi yang diberi nama nafsu.
Dan nafsu ini yang sering membawa manusia lupa dan ingkar dengan fitrahnya
sebagai hamba dan khalifah Allah dimuka bumi.
Untuk itu manusia perlu mengembangkan potensi positif yang ada dalam dirinya
untuk rnencapai fitrah tersebut.
Dan sebagai
pendidik pertama di bumi, orang tua adalah yang berkewajiban memberikan
pengetahuan pertama kepada anak-anaknya. Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka masalah yang akan diungkap dalam penelitian
ini adalah bagaimana Implikasi antara Fitrah Manusia dalam Pendidikan Islam, yakni
dilihat menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan
tentang Implikasi Fitrah
Manusia terhadap
Pendidikan Islam. Setelah dilakukan analisa dan kajian terhadap implikasi
fitrah manusia terhadap pendidikan, maka penulis mengemukakan beberapa
kesimpulan bahwa Pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani
pada tingkat kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia
berdasarkan hukum-hukum.
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu
sebagai khalifäh Allah dan Abdullah (Abdi Allah).
Untuk
mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah
potensi didalam dirinya. Potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafsu, akal, qalb, dan fitrah. Sejalan
dengan itu, Zakiyah Darajat mengatakan, bahwa potensi dasar tersebut berupa
jasmani, rohani, dan fitrah namun ada juga yang menyebutnya dengan jismiah,
nafsiah dan ruhaniah. Potensi yang ada pada manusia adalah untuk dikembangkan
dan masing-masing pribadi manusia sebagai karunia Tuhan.
Potensi ini
merupakan potensi mental-spiritual dan fisik yang diciptakan Tuhan sebagai
fitrah yang tidak bisa diubah atau dihapuskan oleh siapapun, akan tetapi dapat
diarahkan perkembangannya dalam proses pendidikan sampai titik optimal yang
berakhir pada takdir Tuhan. Disaat mereka mengalami ketidakberdayaan ketika
musibah menghampirinya, secara naluriah, mereka akan meminta pertolongan dan segalanya kepada
Allah, yang bisa mernbebaskan mereka dan
ketidakberdayaan itu. Manusia
secara insting akan berbuat semacam itu sebagai ungkapan jiwanya yang pada
fitrahnya adalah suci, bertuhan, dan mengakui kebenaran. Proses pendidikan
manusia dan waktu ke waktu akan mengembangkan fitrah manusia itu sendini. Oleh karena
itu mengapa pendidikan sangat diperlukan bagi manusia.
C.
KOMPONEN PSIKOLOGI DALAM FITRAH
Fitrah merupakan kondisi
jiwa yang suci, bersih yang reseptif terbuka kepada pengaruh eksternal termasuk
pendidikan. Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau response terhadap pengaruh
dari luar tidak terdapat di dalam fitrah, yang kemukakan oleh ahli sunnah wal
jamaah.
Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan
manusia yang dibawa sejak lahir dan berpusat pada potensi dasar untuk
berkembang. Potensi dasar tersebut sacara menyeluruh (integral) yang
menggerakkan seluruh aspek-aspeknya secara mekanis yang mana satu sama lain saling
mempengaruhi menuju kearah tujuan tertentu.
Aspek-aspek fitrah
merupakan komponen dasar bersifat dinamis, responsive terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk pengaruh
pendidikan.
Komponen- komponen dasar tersebut meliputi :
- Bakat, merupakan suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (profesional) dalam berbagai bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal pada kemampuan kognisi (daya cipta), konasi (kehendak), dan emosi (rasa) yang disebut dengan tri kotomi (tiga kekuatan kemampuan rohani manusia).
- Insting (ghorizah), adalah kemampuan berbuat atau bertingkah tanpa melalui proses belajar. Kemampuan insting tersebut merupakan pembawaan sejak lahir juga. Dalam psikologi pendidikan kemampuan ini termasuk kapabilitas yaitu kemampuan berbuat sesuatu dengan tanpa proses belajar.
3.
Nafsu
dan dorongan-dorongan. Dalam tasawuf dikenal nafsu-nafsu lawwamah yang
mendorong kearah perbuatan mencela dan merendahkan orang lain. Nafsu ammarah
yang mendorong kea rah perbuatan merusak, membunuh atau memusuhi orang lain.
Nafsu birahi yang mendorong ke arah perbuatan seksual. Nafsu mutmainnah yang
mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut al-Ghazali,
nafsu manusia terdiri dari nafsu malakiah yang cenderung ke arah perbuatan
mulia sebagai halnya para malaikat, dan nafsu bahimiah yang mendorong ke arah
perbuatan rendah sebagaimana binatang.
4.
Karakter
adalah merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak lahir. Karakter ini
berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter
terbentuk oleh kekuatan dari dalam diri manusia, bukan terbentuk dari pengaruh
luar.
5.
Hereditas
atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan dasar yang mengandung
ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan oleh orang tua baik dalam
garis yang terdekat maupun yang telah jauh.
6.
Intuisi
adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi
menggerakkan hati nurani manusia yang membimbingnya ke arah perbuatan dalam
situasi khusus diluar kesadaran akal pikiran, namun mengandung makna yang
bersifat konstruktif bagi kehidupannya. Intuisi biasanya diberikan Tuhan kepada
orang yang bersih jiwanya[3].
7.
Implikasi Fitrah Manusia
Terhadap Pendidikan
D.
Macam–Macam Potensi Manusia
Sebagaimana telah
dijelaskan diatas bahwa fitrah
mengacu kepada potensi yang dimiliki manusia. Potensi itu diantaranya yaitu,
1. Potensi beragama
Perasaan keagamaan adalah naluri yang dibawa sejak lahir
bersama ketika manusia dilahirkan. Manusia memerlukan keimanan kepada zat
tertinggi yang Maha Esa diluar
dirinya dan dan diluar dari alam benda yang dihayati olehnya. Naluri beragama
mulai tumbuh apabila manusia dihadapkan pada persoalan persoalan yang
melingkupinya.
Akal akan menyadari kekerdilannya dan mengakui akan kudratnya
yang terbatas.[4]
Akal akan menyadari
bahwa kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam jagat raya ini, yaitu
Allah.
2. Kecenderungan moral
Kecenderungan moral sangat erat kaitannya dengan potensi
beragama. Sehingga ia
mampu untuk membedakan yang baik dan buruk. Atau memiliki hati yang dapat
mengarahkan kehendak dan akal. Apabila dipandang dari pengertian fitrah seperti
di atas, maka kecenderungan moral itu bisa mengarah kepada dua hal sebagaimana
terdapat dalam surat Asy-Syam ayat 7 yang Artinya:
Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) dan ketakwaannya.
3. Manusia bersifat fleksibel.
Manusia mampu dibentuk dan diubah[5].
Ia mampu menguasai ilmu pengetahuan, menghayati adat-istiadat, nilai, atau aliran baru. Atau
meninggalkan adat, nilai dan aliran lama, dengan cara interaksi sosial baik dengan lingkungan yang
bersifat alam atau kebudayaan. Allah berfirman tentang bagaimana sifat manusia
yang mudah lentur, terdapat dalam surat Al Insan ayat 3, artinya:
Sesungguhnya Kami telah
menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
4. Kecenderungan bermasyarakat
Manusia juga memiliki kecendrungan bersosial dan
bermasyarakat.
Menurut
Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi.
a) Daya Intelektual (Quwwat Al-‘Aql),
yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan
buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan
Tuhannya.
b) Daya Ofensif (Quwwat Al-Syahwat), yaitu potensi dasar yang mampu
menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya,
baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
c)
Daya
Defensif (Quwwat Al-Ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat
menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Namun
demikian, diantara ketiga potensi tersebut, di samping agama – potensi akal merupakan sebagai alat kendali (kontrol) dua
potensi lainnya.
Menurut
Ibnu Taimiyah membagi fitrah
manusia kepada dua bentuk, yaitu:
1.
Fitrah Al-Gharizat
Merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak
lahir. Bentuk fitrah ini berupa
nafsu, akal, dan hati nurani. Fitrah
(potensi) ini dapat dikembangkan melalui jalan pendidikan.
2. Fitrah
Al-Munazalat
Merupakan potensi luar manusia. Adapun fitrah ini adalah wahu ilahi yang
diturunkan Allah untuk membimbing dan mengarahkan fitrah al gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang
hanif. Semakin tinggi interaksi antara kedua fitrah tersebut, maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia.
Berdasarkan penjelasan mengenai potensi
manusia, tampak jelas bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal. Lingkungan
ikut mempengaruhi dinamika dan arah pertumbuhan fitrah manusia. Semakin baik penempaan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah
kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, penempaan dan pembinaan fitrah yang dimiliki tidak pada
fitrahnya maka manusia akan tergelincir dari tujuan hidupnya. Untuk itu salah
satu pembinaan fitrah dengan
pendidikan.
E.
Hubungan
Fitrah Manusia dan Kependidikan
Fitrah yang mengandung implikasi
pendidikan mengandung paham nativisme. Maksudnya bahwa manusia mempunyai
potensi dasar beragama yang tidak dapat dirubah. Fitrah yang bercorak nativisme[6]
ini berkaitan juga dengan faktor
hereditas (keturunan) yang bersumber dari orang tua, termasuk juga keturunan
beragama. Sebagaimana dijelaskan dalam Surat
Nuh ayat 26-27.
Menurut Ali Firi dalam buku M. Arifin, salah seorang ahli
pendidikan Mesir menyatakan bahwa kecenderunga nafsu berpindah dari orang
tua secara turun temurun.
Namun demikian fitrah
itu tetap harus dipelihara dan dijaga. Sehingga peran lingkungan sangat penting
dalam mengembangkan potensi seorang manusia. Potensi anak akan dikembangkan melalui proses pendidikan sehingga dalam proses pendidikan
menjelaskan bahwa fitrah yang
telah dibawa sejak lahir bagi anak akan memiliki pengaruh yang cukup besar
dipengaruhi dengan lingkungan.
Lingkungan merupakan faktor yang mepengaruhi manusia,
meskipun demikian bukanlah menjadi faktor utama. Hal ini dikarena masih adanya
faktor lain yang bisa mempengaruhi tingkah laku manusia. Melalui proses
belajar, manusia bisa menjadi orang-orang yang bermanfaat. Fitrah tersebut harus diarahkan
kearah yang positif agar tidak menimbulkan suatu persepsi yang negative.
Konsep fitrah
juga menuntut agar pendidikan islam harus bertujuan mengarahkan pendidikan demi
terjalinnya ikatan kuat seorang manusia dengan Allah. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa fitrah
manusia dekat dengan tauhid.
Tauhid telah menjadi essensi dari semua bentuk agam-agama. Konsep tauhid
inilah yang memberikan tekanan kekuasaan Allah yang mesti dipatuhi dalam
kurikulum pendidikan islam. Sebagaimana dalam firman Allah QS. Al A’raf: 172, Arinya:
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi”. (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)”,
Fitrah juga dapat diartikan sebagai
kecenderungan-kecenderungan, seperti makan, minum, kebutuhan sex dan lainnya.
Kecenderunga ini berperan bagi jasmani manusia yang tercipta dari tanah,
sebagimana terdapat dalam surat As- Sajadah ayat 7, Artinya:
Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan yang harus
dipenuhi. Apabila ditelaah, kebutuhan manusia hampir sama dengan kebutuhan
makhluk lainnya, seperti binatang dan tumbuhan. Sehingga manusia selalu ingin dan mengikuti
rasa nyaman dan tidak ingin tunduk pada kesopanan. Apabila manusia bertingkah laku seperti itu, maka
mirip dengan tingkah laku binatang. Untuk membedakan manusia dengan penciptaan
Allah yang lain, maka manusia harus dididik. Kecenderungan tesebut tetap harus
dipenuhi seperti makan dan minum, dan lainnya. Tetapi kecenderungan tersebut harus tetap dikontrol
sehingga bisa terealisasikan dengan baik.
BAB
III
KESIMPULAN
Dalam rangka mengembangkan fitrah (potensi) manusia, baik potensi jasmani
maupun rohani, secara efektif dapat dilakukan melalui pendidikan karena fitrah
manusia tidak bisa dibiarkan berkembang bebas. Fitrah tersebut harus dididik dan diarahkan. Sedangkan tujuan
pengembangan fitrah manusia itu secara optimal adalah agar kita sebagai manusia
mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah SWT. dan khalifah di
muka bumi. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa fitrah mempunyai dua kecenderungan yang
berlawanan, yaitu kearah kebaikan dan keburukan.
Untuk itu, proses pendidikan harus dilakukan, agar manusia tetap berada dalam
lingkup kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nata, Abuddin. Filsafat pendidikan
Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta
pusat: Kalam Mulia. 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar