PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM
DI ARAB DAN DI INDONESIA
Disusun oleh:
Nama :
NPM
Ahmad
Riyadin : 1011050109
Desi
Suparyati : 1011050086
Dwi
Maydalena : 1011050034
Nur
Ngafifah : 1011050049
Mata
Kuliah : Metode Studi Islam
Jurusan/
Smt/Kls : Matematika/I/B
Dosen : Muslim Basyar
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN INTAN
LAMPUNG
T.A.
2010/2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah berkat rahmat Allah
SWT. Makalah tentang “Perkembangan Pemikiran Islam di Dunia” ini dapat hadir di
hadapan para pembaca yang budiman. Secara khusus kami ucapkan terima kasih
kepada dosen pembimbing yang telah memberi masukan yang sangat berharga baik
dalam tahap rancangan maupun hasilnya nanti.
Terima kasih yang mendalam juga
penulis ucapkan kepada rekan-rekan yang telah membantu kelompok kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya tegur sapa, kritik dan
saran tetap penulis harapkan dari semua pihak agar yang slah dapat diperbaiki,
yang menyimpang dapat diluruskan dan yang kurang dapat disempurnakan. Semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bandar
Lampung, 20 Oktober 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… ii
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang………………………………………………………... 1
1.2 Rumusan
Masalah……………………………………………………... 2
1.3 Ruang
Lingkup Pembahasan…………………………………………... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Pemikiran Islam di
Arab…………………………………….. 3
2.2 Dampak dari pemikiran dan
filsafat Yunani terhadap Islam ………………... 5
2.3 Perkembangan Pemikiran Islam di
Indonesia………………………………... 7
2.4 Teologi Rasional Muktazilah Ala
Harun Nasution…………………………... 8
BAB III KESIMPULAN…………………………………………………………………. 10
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemikiran dan gerakan pembaruan dalam
Islam merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti. Memang tidak dapat
disangkal bahwa pada masa-masa tertentu dalam sejarah islam terdapat masa-masa
kemandegan dalam proses tersebut. Tetapi pada saat tersebut selalu muncul
tokoh-tokoh muslim pembaru yang tidak betah berada pada kemapanan yang telalu
berkepanjangan, dengan upaya-upaya reinterpretasi terhadap ajaran agama dalam
rangka menjawab tantangan-tantangan zaman atas dasar pemikiran-pemikirannya,
tokoh-tokoh pembaru tersebut telah mempelopori dan membangun gerakan-gerakan
pembaruan di dunia Islam.
Di Arab, peradaban Islam yang berkembang
di negara ini berdiri di atas tatanan masyarakat kecil yang dibangun
berdasarkan ikatan keluarga, keturunan kekerabatan dan ikatan etnis, masyarakat
pertanian dan perkotaan, perekonomian pasar, kepercayaan monotheistik dan
imperium birokratis. Transformasi sosial dari masyarakat Arab pra islam sampai
terbentuknya keunggulan peradaban dan dilanjutkan dengan masa stagnasi terhadap
pemikiran secara sistematis dapat klasifikasikan dalam 3 fase. Fase pertama
merupakan fase penciptaan komunitas baru yang yang bercorakkan islam di Arab sebagai
hasil dari transformasi masayarakat pinggiran dengan sebuah masyarakat
kekeraatan. Fase kedua merupakan penaklukan bangsa Arab (komunitas muslim) yang
baru terbentuk yang pada akhirnya mendorong terciptanya imperium dan kebudayaan
islam. Fase ketiga merupakan fase post-imperium atau periode kesultanan yang
mana pola dasar kultural berubah menjadi agama dan basis organisasi komunal
dari masyarakat Timur Tengah.
Selanjutnya, Indonesia adalah negara
yang berpenduduk mayoritas muslim, walaupun tidak mempunyai ideologi Islam
(bukan negara islam seperti Arab, Pakistan, dan Iran) sebagai asas kehidupan
bernegara namun sebagaimana dikatan oleh Amien Rais bahwa Indonesia tak pelak
lagi dapat dikatakan sebagai negara islam secara substansial (isi dan bentuk). Di
lihat dari potret keberadaan bangsa Indonesia saat ini tidak bisa dipisahkan
dari kronologis perjalanan sejarahnya masa lampau. Apalagi sebagaimana
diketahui keberhasilan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa lepas
dari kegigihan dan keuletan umat Islam berjihad merebutnya dari tangan
penjajah.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Perkembangan
pemikiran Islam di Arab.
2.
Perkembangan
pemikiran Islam di Indonesia.
1.3 Ruang
Lingkup Pembahasan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan
masalah, kami membatasi pembahasan pemikiran islam di Indonesia menurut
pemikiran Harun Nasution, dan pemikiran islam di Arab yang berkembang pada masa
Dinasti Abbasiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemikiran Islam adalah pemikiran yang khas,
lain daripada yang lain. Ini wajar sebab pemikiran islam berasal dari wahyu
atau bersandarkan pada penjelasan wahyu, sedangkan pemikiran yang berkembang di
antara manusia baik itu berupa agama-agama non-samawi, ideologipolitik dan
ekonomi, maupun teori sosial sekedar muncul dari kejeniusan berfikir manusia
yang melahirkannya.
Pemikiran
islam mempunyai beberapa ciri khas antara lain: bersifat komprehensif,
yakni mengatur semua aspek kehidupan manusia, seperti politik , sosial
kemasyarakatan dan sebagainya. Bersifat luas, yakni karena luasnya
pemikiran islam memungkinkan para ulama untuk melakukan istinbath (menggali)
hukum-hukum syar’I dari nash-nash syariat-syariat tentang perkara baru apapun
jenisnya. Bersifat praktis, yakni hadir untuk diterapkan dan
dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan. Dan bersifat manusiawi, yakni
menyeru kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia, tanpa melihat lagi
ras atau warna kulitnya.
2.1 Perkembangan Pemikiran Islam Di Arab
Bani
Abbasiyah berkuasa sekitar 500 tahun, tahun 750-1258 M, berkedudukan di
Baghdad, Iraq. Masa ini tidak ada lagi ekspansi dan penaklukan wilayah.
Sebaliknya,
wilayah luas yang diwarisi bani Abbas dari bani Umayyah justru
lepas satu per satu, sehingga muncul tiga kerajaan besar secara bersamaan yaitu
Bani Abbas di Baghdad, Bani Fatimiyah di Mesir, dan kerajaan Islam di Spanyol.
Ketiga kerajaan ini berbeda secara theologis dan politik. Bani Abbas berpaham
Sunni sedang bani Fatimiyah yang mewariskan Al-Azhar berpaham Syiah. Sementara
itu, Islam di Spanyol meski sama-sama Sunni tetapi keduanya berbeda bahkan
merupakan lawan politik. Karena itu ketiganya bersaing ketat dalam semua hal,
militer, kebudayaan dan peradaban, bahkan tidak jarang saling serang dengan
menggunakan doktrin teologis keagamaan.
Sumbangan
utama bani Abbas bagi peradaban Islam adalah dukungannya yang besar terhadap
perkembangan keilmuan, filsafat dan sains. Secara umum kebanyakan khalifah bani
Abbas adalah orang yang gandrung ilmu dan hikmah, dan memberi dukungan besar
pada bidang ini. Al-Makmun (811-833 M) adalah khalifah yang mempelopori proses
penterjemahan filsafat Yunani ke dalam Islam, yang kemudian didukung oleh
penggatinya, Harun Al-Rasyid, dengan didirikannya Baitul Hikmah, perpustakaan
besar dan pusat penelitian.
Hal
itu bukan berarti pemikiran dan filsafat Islam berasal dari Yunani, atau bahwa
Islam tidak mempunyai pemikiran filosofis dan rasional sendiri yang orisinal
seperti dituduhkkan Renan dan Duhem. Pertama, bahwa belajar atau berguru
tidak berarti meniru semata. Suatu ide dapat dibahas oeh banyak orang dan akan
tampil dalam berbagai macam fenomena.
Kedua,
kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan
dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Tercatat dalam
sejarah, terjemahan filsafat-filsafat Yunani memberi kontribusikan besar bagi
perkembangan pemikiran dan filsafat Islam baru dimulai pada masa Al-makmun oleh
orang-orang seperti Yahya Al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana Ibn Musyawaih dan Hunai
Ibn Ishaq. Pada masa ini sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam
masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalm fiqh (yurisprudensi) dan kalam
(teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun oleh
Wasil ibn Atha’ telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin
resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang. Begitu pula di bidang fiqh,
penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbath) dengan
istilah-istilah seperti istihsan, istishlah, qiyas dan lainnya yang
telah lazim digunakan. Di sini muncullah tokoh-tokoh mazhab fiqh yang
memunculkan metode istinbath dengan menggunakan rasio seperti Au
Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ibn Hanbal, mereka hidup sebelum kedatangan
filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan
filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam
masyarakat Islam, yakni dalam soal teologis dan kajian hukum. Bahkan pemikiran
rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan
bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam.
Pemikiran
rasional dan filosofis dalm Islam tersebut telah berkembang jauh sebelum
datangnya Yunani sebagai akibat adanya tuntutan untuk menyesuaikan antara
ajaran Al-Qur’an dengan realitas sehari-hari. Bersamaan dengan itu, dalam
teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan
yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya
dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya bagaimana menyelaraskan
antara siafat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha
tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian
dibalas sesuai dengan perbuatannya. Bagaimana meafsirkannya secara tepat bahasa
antropomorfis Al-Qur’an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan
manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring
para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berfikir
rasional dan filosofis, dalam hal itu antara metode-metode pemecahan yang yang
diberikan atas masalah teologi tidak berbeda dengan filsafat Yunani, perbedaan
antara keduanya adalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada
valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni bahwa pemikiran teologi
didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis
logis, pasti dan baku.
2.2
Dampak dari pemikiran dan filsafat Yunani terhadap Islam
Masuknya
pemikiran dan filsafat Yunani, berdampak posotif bagi Islam yakni memberikan
support besar bagi perkembangan filsafat dan sains Islam. Yang dapat kita lihat
dalam sejarah bahwa peradaban islam di
bidang sains pada masa itu mengalami kemajuan. Dalam bidang filsafat, para
filosof muslim mendapat referensi untuk mendiskusikan hubungan antara Tuhan
yang Esa dengan realitas empiris yang beragam, pemahaman keagamaan yang
bersumber pada wahyu dan renungan filosofis yang berasal dari rasio dan
seterusnya. Sedangkan dampak negatifnya adalah timbul permasalahan baru,
beberapa tokoh Islam yang belajar filsafat sampai berani mempersoalkan kenabian
karena terlalu mengandalkan kekuatan rasio. Ar-Razi contohnya, Ia menolak
kenabian dengan tiga alasan:
1. Bahwa
akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna.
Dengan rasio manusia telah ampu mengenal tuhan dan mengatur kehidupannya
sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.
2. Tidak
ada pembenaran bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain,
karena semua orang lahir dengan tingkatan kecerdasan yang sama hanya
pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka.
3. Ajaran
nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama tuhan yang
sama, mestinya tidak ada perbedaan.
Karena
itu, salah satu tokoh salaf yakni Ahmad Ibn Hanbal (780-855 M) menunjukkan
sikap tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu filsafat. Menurut George N.
Atiyeh, penentangan itu disebabkan, pertama, adanya kekhawatiran bahwa
ilmu filsafat akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat islam terhadap
Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang
mempelajari filsafat ternyata bukan orang islam. Ketiga, adanya usaha
untuk melindungi umat islam dari pengaruh machianisme Persia.
Ketegangan
dan penentangan tersebut dimulai pada masa Al-makmun dan berlanjut pada
beberapa khalifah penggantinya yang mendukung muktazilah dan filsafat.
Perubahan drastis terjadi setelah masa Al-Mutawakil. Ia berbalik mendukung
salaf yang semakin kuat untuk mengamankan kekuasaanya. Perubahan politik in
juga berdampak pada perubahan sikap dan paham teologi.
Pemikiran
filsafat dan nalar rasional yang merupakan jantung keilmuan dan sains semakin
tersingkir dari masyarakat islam sunni dan pusta kekuasaan bani Abbas setelah
Al-Ghazali juga menyerang filsafat dan mengunggulkan tasawuf. Ia menyatakan
bahwa tiga persoalan filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran islam yaitu
ajarannya tentang keqadiman alam, kebangkitan ruhani, dan ketidaktahuan Tuhan
akan hal yang partikular. Ibnu Rusyd pada fase-fase berikutnya mencoba
membendung serangan al-Ghazali, ia mencoba mengembalikan posisi filsafat.
Usahanya gagal, bahkan ia menjadi korban pertentangan antara filsafat dan fiqh
yang akhirnya ia diasingkan dan karya-karya filsafatnya dibakar.
2.3
Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia
Pemikiran
islam di Indonesia bukanlah barang baru ketika Harun Nasution mengutarakan
berbagai gagasan pemikirannya. Bangsa indonesia (sebagai negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia) merupakan salah satu gudang pemikiran islam. Memang
perkembangan pemikiran islam baru dimulai sejak sekitar masa pergerakan
nasional. Pemikiran pada masa itu juga tidak lepas dari gerakan pembaruan islam
yang ada di Timur Tengah (terutama Mesir).
Pemikiran
islam di Indonesia berkembang cukup pesat di awal abad ke-20. Hal itu ditandai
dengan lahirnya gerakan modernisme. Gerakan modernisme yang bertumpu pada
Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat islam pada sumber
ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman sehingga tidak perlu
diperbaharui. Namun, hal ini perlu diangkat lagi ke permukaan masyarakat yang
telah tertutup oleh tradisi dan adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran
pokok tersebut. Pengusung gerakan Modernisme pada saat itu adalah H.O.S.
Tcokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad
Natsir. Perubahan dari taqlid kepada ijtihad merupakan akar pemikiran
islam tersebut. Akar pemikiran itu kemudian menjalar kepada pemikiran aplikatif
dan kehidupan modern.
Ketika
Agus Salim dan Tjokroaminoto berhadapan dengan komunis dan nasionali, mereka
mengusung pembicaraan tentang sistem ekonomi yang direlevansikan dengan
pembinaan masyarakat menurut Islam. Pada umumnya sampai masa konstituante tahun
1956-1959, pamikiran islam di Indonesia berkisar pada soal-soal ibadah dan
muamalah.
Dalam
pemikiran Harun kita akan lihat warna berbeda yang bisa dilihat dari beberapa
perspektif yaitu suasana zaman, afiliasi terhadap ormas/parpol, fokus terhadap
bidang akademis. Kembali kepada pembahasan paragraf sebelumnya tentang garis
besar pemikiran Islam pada awal abad ke-20 sampai masa konstituante, Deliar
Noer menarik beberapa kesimpulan tentang corak gerakan masa itu antara lain
bahwa pemikiran kalangan Islam masa itu lebih merupakan reaksi atau respon
terhadap tantangan yang ada. Ia merupakan reaksi terhadap pemikiran Barat.
Selain itu permasalahan yang dihadapi tidak diimbangi dengan tersedianya
orang-orang ynag ahli dan mempunyai waktu luang sehingga bahasan dan kajianyang
dilakukan terhadap salah satu kurang mendalam dan kurang mengena. Warna berbeda
lainnya yaitu afiliasi tehadap ormas/parpol. Kenyataan memperlihatkan bahwa
para tokoh sebelumnya adalah bagian dari ormas atau parpol. Hal itu secara
tidak langsung menjadi salah satu pertimbangan apakah pemikiran yang
dikeluarkan tokoh itu adlah murni pemikirannya. Perspektif lainnya adalah fokus
yang digeluti oleh Harun Nasution pada bidang akademis. Artinya bahwa
pemikirannya adalah suatu kajian yang bisa disampaikan bahkan dipakai sebagai
kurikulum.
2.4
Teologi Rasional Muktazilah ala Harun Nasution
Setiap
tokoh memiliki cirikhas pemikiran dan latar belakang pemikirannya
masing-masing. Bila tidak berlebihan dapat dikatakan titik tolak pemikiran
Harun Nasution adalah pemikiran Muktazilah yang sudah diupamnya. Fauzan shaleh
mengatakan bahwa pemikiran muktazilah
tersebut diperkenalkan oleh Harun Nasution secara lebih komprehensif. Inti
pembaharuan pemikiran Harun Nasution sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para
pendahulunya yaitu menekankan tentang Ijtihadakan tetapi Harun sudah
memasuki tataran pembahasan yang sudah lebih mendalam tentang teologi. Masalah kalam
ini jarang sekali diperbincangkan oleh para pemikir Islam sebelumnya.
Seperti pada paparan diatas, sebagian besar pemikirannya dititikberatkan pada
kajian muamalah.
Hal
itu terjadi karena suasana zaman yang maenarik para pemikir islam tersebut
untuk merespon masalah yang ada. Sedangkan Haruh Nasution adalah orang yang
lepas dari berbagai kemelut masalah yang ad, walaupun pada masanya bukan
berarti tidak ada masalah.
Teologi
adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam islam
teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum pemikiran Harun Nasution
tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio
kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena
manurutnya di dalam Al-Qur’an memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan
tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu
pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan
yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al dalalah. Qath’iy al dalalah adalah
kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan suatu interpretasi.
Zhanniy al dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas
sehingga menimbulkan pemikiran-pemikiran yang berlainan. Disinilah dibutuhkan
akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutan
wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka penulis dapat simpulkan
bahwa:
Pemikiran
yang sangat berpengaruh di Arab pada awalnya sangat dipengaruhi oleh masuknya
pengaruh filsafat Yunani, yang memiliki dampak positif dan negatif terhadap
pemikiran yang ada di kalangan umat Islam. Hingga muncul berbagai permasalahan
yang akhirnya banyak menuai perdebatan di kalangan intelektual yaitu melalui
pemikiran-pemikiran mereka. Mereka lebih menitikberatkan pada bidang filsafat
keagamaan.
Di
Indonesia gerakan modernisme lahir pada saat pemikiran Indonesia sedang
berkembang cukup pesat. Tokoh-tokoh yang mengusungnya adalah H.O.S.
tjokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad Natsir. Disini Harun Nasution
memaparkan pemikiran-pemikirannya dengan sudut pandang berbeda dari para pengusung
gerakan modernisme dan Ia juga memaparkan pemikiran tentang toelogi
rasionalnya. Para pamikir di Indonesia menitik beratkan pemikirannya pada
ijtihad, muamalah dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Sani,
Abdul. 1996. Perkembangan Modern Dalam Islam.Jakarta: Rajawali Pers.
Hidayat,
Komaruddin. 2002. Pranata Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Rais,
Amien. 1989. Islam dan Pembaruan. Jakarta: CV. Rajawali.
Noer,
Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta.
LP3ES.
Yatim,
Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Azra,
Azyumardi. 1985. Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
semoga bermanfaat ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar